jurnalpuspahyang.blogspot.comMestinya aku sadar, saat memutuskan mengikat tali pernikahan, memutuskan mulai sebuah hubungan aku telah dengan iklas "meniadakan kebebasan"ku sebagai individu. Terlebih setelah memiliki status dan juga kewajiban memiliki anak dan juga suami yang terikat erat dengan tradisi dan juga lingkungan sosial yang ada.
jurnalpuspahyang.blogspot.com
Jika kemudian tak ada yang bisa kulakukan, lebih hanya sebagai sebuah kesadaran bahwa aku harus mengedepankan semua yang mengingatku itu, baru kemudian melakukan apa yang ingin aku lakukan untuk memenuhi keinginanku sebagai sebuah individu.
Aku salah? Tidak. Seratus persen manusia bernama perempuan akan melakukan hal itu baik secara iklas maupun "keterpaksaan iklas" hanya karena kodrat yang senantiasa didengung dengungkan masyarakat yang "bijaksana" itu.
Bijaksana dalam tanda kutip karena kurasa tak ada yang pernah memiliki perasaan bahwa itu hanya berlaku sepihak. Perasaan semua baik baik saja jika mahluk bernama perempuan melakukan apa yang dianggap sebagai sebuah kelakuan baik yang telah diatur sedemikian rupa oleh "para leluhur" pendahulu maupun siapa saja pembuat kebijakan tersebut.
Dan entah berasal darimana kebijakan itu kemudian menjadi sebuah kebiasaan yang sampai saat ini membuat para mahluk perempuan lalu menjadikannya tolok ukur kebaikan jika telah melakukan kodratnya dengan baik.
Kebijakan sepihak kukatakan, sebab itu adalah sebuah ketimpangan yang berlaku hanya sebagai sebuah pengatur agar mahluk perempuan mengambil bagian lebih banyak, agar semua berjalan sesuai yang diharapkan tradisi terhadapnya.
Mahluk macam apakah perempuan sehingga dia dibebani semacam tanggungjawab sangat besar seperti itu?
Apakah saat melakukan pernikahan atau perkawinan hanya diinginkan oleh kaum perempuan saja? Apakah selama proses membuat anak dan menjaga ikatan itu adalah peran perempuan saja yang mesti jongkok bangun menimbulkan sange suaminya lalu baru bisa melakukan hubungan intim?
Apakah kemudian hanya perempuan yang melakukan hubungan intim itu lalu setelah ejakulasi suaminya perempuan tak berhak untuk mencapai orgasme?
Macam itulah ketimpangan yang kemudian kuanggap sebagai sebuah kecacatan ketimpangan. Tak hanya dalam hal menjaga ikatan, tetapi juga sebagian besar dasar dari ikatan itu ada ditangan perempuan selaku "penjaga amanat kebijakan tradisi" yang diusungnya.
Bukan apa apa sie, setiap perempuan sejatinya merupakan individu yang sama saja dengan laki laki..
Tak ada yang pernah menyatakan Adam dan hawa lahir duluan yang mana, mereka terlahir diwaktu dan saat yang sama. Jika kemudian dianggap perempuan dilahirkan belakangan hanya karena agar mengimbagi keinginan alam agar terciptanya sebuah keseiringan dalam hal keindahan bentuk dan juga prasaan yang diciptakan atasnya agar terlihat demikian teratur dan juga keindahan seiringan.
Kapan waktu aku pernah baca bahkan para perempuan kemudian dianggap sebagai sebuah beban yang sarat karena daya tahan tubuhnya yang lemah.
Hey..blm pernah melihat perempuan melahirkan?.. mereka menahan sakit beratus ratus kali lipat dari hilangnya sebuah kuku dari jari tangan.
Tak hanya itu, kemudian setelah kelahiran, dalam keadaan cidera mereka mesti membagi diri dengan memberi asi dan juga tetap menjaga tradisi beradu ranjang dengan pasangan yang kadang tak mau tau kondisi pasangannya.
Masih kurang kuat??.
Adakah yang tau ada perempuan yang kemudian sebelum rahimnya benar benar pulih dari kelahiran ,kembali harus diceprat ceprot sperma seenaknya kemudian bunting lagi dalam blm sebulan anaknya lahir?.
Itu kesakitan yang blm tentu mau ia bagi dan ditahannya sendiri hanya karena ia menjaga nama baik dan juga tahta keluarga suaminya..
Menjaga martabat dirinya?
Mungkin terlihat demikian tetapi banyak kaum perempuan tak sadar mereka telah dikadali, dianggap penjaga Marwah.
Tetapi sebagai seorang penderita dan obyek penderita tak jua membuatnya jera berbuat hal yang sama ribuan tahun .
Dari generasi ke generasi dan dari keturunan terus seperti itu. Bahkan dijaman modern seperti saat ini ada banyak perempuan sok jago, bilang bahwa dirinya hanya bisa dilindungi keluarga dan juga suaminya.
Sok jago kubilang sebab kelemahannya teihat justru saat ia sedang menyerahkan segala tanggungjawab keperlindungannya dibawah naungan laki laki yang notabene hanya sebagai upaya penangkalan atas apa yang dilihatnya sebagai sebuah keperkasaan laki laki.
Bagiku sungguh miris melihatnya dan aku sebagai perempuan kadang merasa kehidupan kami tak adil setelah memiliki "status kepemilikan" sebagai istri maupun sebagai ibu dari seseorang.
Baca juga:Di sini
Komentar